Konsep taqwim (penilaian) harta/benda ke dalam
satuan moneter dalam ilmu fiqh lebih banyak ditemukan untuk kepentingan
membayar kewajiban zakat dan pembayaran utang-piutang yang mengalami taghoyyurul
qimah (perubahan nilai). Penilaian harta untuk kepentingan pembayaran zakat dalam kajian fiqh ada 3 pendapat yaitu
penilaian menggunakan bima usyturiat bihi/ taqwim waqta syira’ (historical cost), penilaian
Taqwim yauma hala al haul / taqmim min tsamanihi yauma hallat fihi az
zakat (Current Value) dan peneliaian
menggunakan tarabbus hatta yabi’a (Realizable Value Modified) (
al Khotib,1415H: al kasani, 1982 : Abu Ubaid,2009 dan al Bujairami,1996).
Di
antara fuqoha’ yang menyatakan bolehnya menggunakan metode historical
cost adalah al Bujairami dan al Khotib dari kalangan syafi’iyah dalam
karyanya tuhfatul habib ala syarhil khotib berpendapat bahwa di akhir
haul, ‘urud tijaroh (inventory) dinilai menggunakan harta pada
saat pembelian/bima usyturiat bihi (historical cost). Al Qurdlowi (1993) juga menukil
perkataan Ibnu Rusyd (w. 594 H) dalam Bidayah al Mujtahid yang menyatakan bahwa: Ibnu
Rusyd menyatakan bahwa sebagian fuqoha’ mengatakan bahwa cukup mengeluarkan
zakat dari harta diwaktu membeli barang (historical cost), bukan nilai barang pada
saat tersebut (current cost).
Berbeda dengan pendapat pertama, kelompok kedua yang
didalamnya termasuk Ba alawi dan al Qordhowi menentang penggunaan historical
cost dalam penilaian harta untuk memenuhi kewajiban zakat. Kelompok ini
berpendapat untuk menggunakan Taqwim yauma
hala al haul / taqmim min
tsamanihi yauma hallat fihi az zakat (Current Value). Ba Alawi dalam Bughiyah al Mustarsyidin menyatakan : yang
dianggap dalam metode penilaian ini adalah melihat pada harga yang disenangi (manusia)
dalam membeli barang serupa pada saat tiba kewajiban zakat. Pendapat ini juga didukung oleh Al
Qurdlowi (1993) yang menyatakan bahwa: Menurut pendapat yang
masyhur, penilaian tersebut menggunakan harga sekarang dimana barang itu
diperjualbelikan di pasar ketika kewajiban zakat berlaku atasnya. Diriwayatkan
dari Jabir bin Zaid dari Tabi’in dalam masalah barang yang diniatkan untuk
diperdagangkan bahwasanya penilaian itu dengan menggunakan taqmim min tsamanihi yauma halat fihi az zakat
(harga saat zakat itu telah mencapai haul) kemudian dikeluarkan zakatnya ( Abu
Ubaid, 2009 ). Ini adalah pendapat mayoritas fuqoha.
Selain dua pendapat di atas, pendapat yang terkahir
adalah tarabbus hatta yabi’a ( Realizable Value Modified). Metode ini didasarkan pada perkataan
Ibnu Abbas yang membolehkan menunggu hingga ending inventory tersebut terjual ( Abu Ubaid, 2009 ).
Tujuan menunggu hingga penjualan barang itu terealisasi adalah untuk
mendapatkan nilai barang yang valid guna penghitungan zakat nanti.
Sedangkan penilaian uang untuk kebutuhan pembayaran utang -piutang
ketika terjadi perubahan nilai mata uang masih menjadi perdebatan dalam
kalangan ulama fiqh. Perbedaan pendapat dalam melihat nilai ( qimah )
mata uang dengan jumlah piutang dapat
diklasifikasikan menjadi, pertama, pembayaran sesuai dengan mistl
( harga nominal saat penerima pinjaman atau historical cost ) karena
perubahan tersebut bukan karena mata uangnya tetapi karena menurunnya nilai
permintaan. Ini adalah pendapat As Salusi (1999). Senada dengan As Salusi
adalah Keputusan Muktamar Bank al Islami
bersama Ma’had ‘Ali di Jeddah pada tahun 1987 M ( Daud, 1999). Pendapat ini
diambil dari pendapat kalangan Hanafiyah
yaitu Ibnu Qudamah ( 1405 H ), Abu Yusuf dalam pendapatnya yang pertama (1991), kalangan
Malikiyah dari pendapat yang masyhur (Malik, tanpa tahun), kalangan
syafi’iyah ( al Haitami, 1991) dan Hanabilah dari salah satu dari kedua pendapatnya ( al
Hambali,1989 ). Kedua, pembayaran sesuai dengan qimah yauma al qord (nilai moneter ketika menghutang atau current
value), karena pada dasarnya walaupun bilangannya berbeda, tetapi nilainya
sama dengan waktu menghutang, ini adalah pendapat Shoqor, an Nasymi dan az
Zarqa ( Daud, 1999). Shoqor menyatakan bahwa pendapatnya ini hanya ijtihad
semata. Oleh karena itu, untuk menghindari perselisihan antara da’in (pemberi
piutang) dan madin (pemanfaat piutang), hendaknya dibuat kesepakatan
ketika menghutang mengenai jenis pembayarannya, walaupun dengan kesepakatan ini
masih terdapat ghoror, namun hal ini masih lebih aslam (selamat).
Sesuai dengan kaidah fiqh yurtakabu akhoffu ad dhororain (melakukan yang
lebih kecil dhoror-nya).
ConversionConversion EmoticonEmoticon