istilah intangible asset dalam
ilmu akuntansi bukanlah hal yang asing. Dalam akntansi konvensional intangible
asset didefinisikan sebagai suatu aktiva atau asset yang memiliki
substansi nyata yang nilainya timbul dari hak-hak yang diperoleh dari
kepemilikannya dan dapat digunakan lebih dari satu tahun (Ardiyos , 2007).
Dalam penyusunan laporan keuangan, intangible asset masuk dalam kelompok asset
tidak lancar dan harus dimasukkan dalam neraca berdasarkan nilai bukunya.
Contoh dari intangible asset adalah ,
franchise, trade mark, lisensi , organization cost, hak paten dan goodwill.
Dalam ilmu Fiqh, intangible
assets dikenal dengan istilah al ushul al ma’nawiyah atau huquq
al ma’nawiyah. Menurut Az zuhaili ( 2009 ) Huquq al ma’nawiyah adalah
suatu nilai materil yang berbentuk sebuah manfaat dan bisa dimanfaatkan dalam
aktifitas yang legal secara syar’i. Huquq ma’nawiyah ini boleh di transaksikan
berdasarkan ketentuan ketentuan yang terdapat dalam jual beli. Seperti halnya
az Zuhaili, Ibnu Abidin (w. 1836) dalam Kantakji (2003) membahas mengenai konsep
intangible asset. Ia menyatakan bahwa intangible asset dapat
dikategorikan sebagai ‘barang’ yang bisa ditashorruf-kan ( jual-beli,
disewakan atau dihibbahkan ). Statement tersebut sama dengan beberapa statemen
para pakar fiqh yang lain, yang menetapkan bahwa intangible asset merupakan
harta dan dapat dimiliki.
الأصول
المعنویة :تعرض
ابن عابدین
للأصول المعنویة
عندما اعتبر
المنفعة عرضا،
وتعرض لھا
غیره من
الفقھاء عندما
نوقشت المنفعة
بوصفھا ملكا
أم مالا
Al Buthi (2001) menjelaskan seputar
Intangible asset dalam sebuah artikel berjudul Haula Huquq al Milkiyah al
Fikriyah wa Thuruqi Himayatiha. beliau mengemukakan bahwa intangible
asset menyerupai hak atas harta yang lain, baik ia memiliki hubungan dengan
barang yang memiliki nilai atau kemanfaatan yang baru; seperti hak penjual atas
kompensasi barang (tsaman) dan hak pembeli atas barang yang telah
dijual. Oleh karena itu, setiap sesuatu yang tidak berkaitan dengan substansi
harta/barang dan kemanfaatan yang baru maka ia dikategorikan sebagai intangible
asset, seperti hak atas qishos, hak untuk rehabilitasi nama baik,
hak talak, hak-hak yang berhubungan dengan prestise kemanusiaan dan
sesuatu yang masuk dalam kategori barang secara general.
Sedangkan untuk pembahasan mengenai zakat,
berdasarkan keputusan muktamar islam ke 5 pada tahun 1409 H di Kuwait memututskan
beberapa hal mengenai huquq al ma’nawiyah dengan kewajiban zakat. Pertama,
haq ta’lif ( hak cipta ) dan haq ibtikar ( hak paten ) pada
dasarnya tidak terkena kewajiban zakat, akan tetapi ketika kedua hak tersebut
berkembang/menghasilkan kekayaan ( ghullah ) maka terkena kewajiban
zakat seperti mal mustafad. Kedua, Ism at Tijari (merk
dagang ) dan Alamah Tijariah (lisensi) terkena kewajiban zakat ketika dipertukarkan
atau di perdagangkan seperti jual beli lisensi dan jual beli franchise, maka
hasil dari pertukaran tersebut dapat dijadikan sebagai penambah harta kena
zakat.
ConversionConversion EmoticonEmoticon