Aku tak peduli, jam berapa, hari apa, dan tanggal berapa sekarang.
Yang penting aku sudah bebas dari tempat itu. Tapi entah, siapa yang membawaku
saat ini. Kalau kulihat dari cara berpakaiannya, dia seorang ibu rumah tangga.
Tapi entahlah, aku tak bisa melihatnya lebih lanjut. Ia terlalu terburu-buru
memasukkanku ke dalam tempat sempit ini. Aku tak sendiri di sini. Aku bersama
kerabatku yang lain. Tubuh mereka tampak lusuh. Tak seperti tubuhku yang mulus
kemerahan ini. Sepertinya mereka telah melakukan perjalanan cukup jauh di atas
tangan-tangan manusia. Berimigrasi dari satu tempat ke tempat yang lain.
Bergonta-ganti tuan. Dan tak punya tujuan pasti. Sebuah kehidupan yang sangat
rumit.
Terus terang saja. Sampai sekarang, aku juga tak mengerti untuk apa
dan untuk siapa aku dilahirkan ke dunia ini. Tak ada pendidikan dan kasih
sayang yang kukenal sedikitpun. Dan aku heran. Kenapa kehidupan begitu
membutuhkan orang-orang sepertiku. Kenapa pula kerusakan juga banyak bermula
dari masalah kecil tentangku. Ah, entahlah….
“Sudah berapa hari kalian di dalam tempat ini?” Tanyaku pada mereka.
“Aku sudah tiga
hari di sini!” jawab salah satu kerabatku. Mungkin sebaiknya aku panggil saja
ia dengan sebutan si biru.
“Kalau aku baru
beberapa menit yang lalu.” Kerabatku yang lain menimpali. Tubuhnya yang
kehijauan tak kalah kusut dari si biru.
“Sebelumnya aku
bersama teman-teman tertumpuk rapi di tangan seorang kondektur bus, lantas aku
terpisah dari mereka dan bertemu kalian di sini.” Lanjutnya.
“Kalau engkau?”
tanyaku pada si biru.
“Kalau aku sudah
berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, yang aku ingat, beberapa
hari yang lalu aku masih ikut seorang saudagar kaya, kemudian…” ia tampak
terdiam sejenak.
“Kemudian apa?”
Desakku ingin tahu.
“Kemudian ia
menukarku dengan seorang pelacur. Setelah itu aku diajak untuk melakukan
transaksi penjualan ganja bersama teman-temanku yang lain. Lalu aku berpindah
ke tangan seorang penjual roti keliling. Lantas, aku berpindah lagi ke tempat
ini tiga hari yang lalu. Setelah ini….., entah ke mana lagi aku akan
dipindahkan.” Ia tampak gundah sejak
menceritakan dirinya ditukar dengan pelacur.
“Sudahlah,
jangan bersedih!” kali ini, orang yang menimpali mirip denganku. Warna tubuhnya
merah dengan tato bertuliskan angka satu dan lima predikat angka nol yang berjajar.
“Apa yang kau alami belum seberapa!
Seharusnya aku lebih prihatin kepada diriku sendiri. Sebab, semenjak aku
debebaskan dulu, aku selalu hidup dalam hal-hal yang bukan semestinya. Aku
pernah hidup dalam transaksi penjualan wanita, aku juga pernah bergulat dalam
perjudian, minum-minuman keras, bahkan pernah juga dimanfaatkan seseorang untuk
menggaji pembunuh bayaran.” Jelasku.
Ternyata perjalanan mereka tak sesuai dengan apa yang mereka
harapkan. Apakah aku akan bernasib seperti mereka? Ah, semoga saja tidak.
Kini, ruangan
yang kami huni ini terasa begitu sepi. Tak satupun dari mereka yang mengkoarkan
keluhan-keluhan nasib mereka. Semuanya tampak tertunduk sedih. Wajah-wajah
kusut mereka seakan mengadukan nasib kepada Tuhan. Bahkan, aku seakan bisa
membaca huruf-huruf yang terlukis dari lelehan air mata mereka. Tuhan! Apakah
kami diciptakan untuk membantu manusia dalam melanggar perintah-Mu? Seperti
itulah kira-kira elegi nasib kita.
“Hei orang baru!” Si hijau menyapaku pelan dalam kesunyian.
Aku menoleh
kepadanya. Di belakangnya tampak kerabat-kerabat lain yang sedari tadi hanya
diam membatu. Tubuh-tubuh memeka juga kusut.
“Berdolah agar
engkau tak senasib seperti kami!” suruhnya
sopan.
“Di zaman yang
serba modern ini, semuanya bisa didapatkan dengan tubuh kita. Manusia yang
licik akan menggunakan cara apapun untuk mendapatkan keinginan dan kepuasan
dirinya. Walau pun semua itu mereka lakukan dengan cara mengorbankan diri kita
dan kerabat-kerabat kita.” Lanjutnya.
“Ia benar!”
Terdengar suara memotong, ternyata si biru.
“Orang-orang
yang tak bertanggung jawab akan menghambur-hamburkan kita dengan
sewenag-wenang. Padahal, di zaman seperti ini, orang-orang yang hidupnya
menengah ke bawah harus banting tulang, peras keringat untuk mendapatkan diri
kita.” Cetusnya.
“Jangankan untuk
mencari dirimu yang mempunyai predikat lima
angka nol, untuk mendapatkan diriku yang hanya mempunyai predikat tiga angka
nol saja sudah sulit.” Imbuh orang yang di belakangnya. Tampak angka dua dan
tiga predikat angka nol di tubuhnya. Aku hanya mengangguk mendengar
nasihat-nasihat mereka. Mereka sungguh bijak. Mesku pun mereka sudah mengalami
nasib buruk, mereka tidak ingin melihat kerabat-kerabat barunya mengalami
nasiba tragis seperti yang mereka alami.
“Sreeeeeek…..!” Tiba-tiba saja bunyi pintu resleting tempat sempit
ini terbuka. Kami semua kaget. Tak satu pun dari kami yang tak menengadahkan
pandangan ke atas. Di sana
tampak jemari manusia masuk dan memilah-milih diri kami. Awalnya si biru yang
diraih jemari itu. Namun, belum lima
detik, giliran diriku yang diraihnya. “Ya Tuhan! Berikan aku penjagaan-Mu dari
tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab.” Lirihku berdoa. Mataku tak
lepas memandangi tubuh-tubuh lusuh yang telah menasehatiku tadi.”Jaga dirimu!”
Teriak si hijau.
“Ini Pak!” Si ibu rumah tangga itu yang membawaku tadi menyerahkan
aku dan si biru kekpada orang lain. Kami pun berpindah tuan. Entah, siapa lagi
yang membawaku ini. Agaknya penjual emas. Tampak dari barang-barang di
sekelilingnya, gelang-gelang, kalung, cincin, anting, liontin, semuanya ditata
rapi dan dikemas di dalam etalase kaca.
“Hei, Merah! Kau
beruntung!” Cetus si biru memecah keingitahuanku akan tuan baruku ini.
“Madsud kamu?” Tanyaku.
“Kau beruntung,
sejauh perjalanan yang kau lakukan ini,
kau selalu jatuh ke tangan orang-orang yang bertanggung jawab, pertama, kau
ikut seorang ibu rumah tangga. Sekarang, kau ikut seorang pengusaha.”
“Lantas?” Aku
memotong.
“Lantas,
kemungkinan untuk dimanfaatkan dalam perjalanan yang tidak baik sangat kecil.
Selamat, ya!” Ia tersenyum simpul. Akupun membalas senyumannya.
“Terima kasih!”
si biru hanya mengangguk, tetap dengan senyumannya.
Akhirnya kami
pun berbaur dengan kerabat-kerabat yang lain. Mereka menyambut kedatangan kami
dengan sangat sopan, aku merasa lebih di hargai. Bahkan aku lebih nyaman di
tempat baru ini. Sebuah tempat semacam laci besar yang sangat lalyak untuk
beristirahat sejenak sebelum nantinya berangkat lagi melakukan perjalanan. Dan
entah, ke mana lagi nantinya aku akan dipindah. Karena mereka agak letih,
sejenak kupejamkan mata di antara kerabatku yang terus bercengkrama tentang
perjalanan abstrak mereka.
***
“Jangan ada yang bergerak!”
Teriak
seseorang.
“Hei, kau! Isi koper ini dengan emas
dan uang! Cepat!”
“Baik, baik, aku akan serahkan
Semuanya!”
“Cepat…!!!”
Aku mendengar keributan
diluar. Ada
suara orang minta tolong, suara orang ketakutan, sampai suara letupan senjata
api. Semuanya berbaur menjadi satu keributan. Ada apa ini? Batinku. Lalu tiba-tiba tempat
ini terbuka. Sebuah tangan meraihku dan semua orang yang ada di laci besar ini.
Termasuk si biru.
“Ke mana lagi
aku akan dibawa?” Batinku berontak.
“Hei, Biru! Mau
dikemanakan kita?” Tnayaku pada si biru.
“Sudahlah, ikut
saja arus perjalanan kita ini. Toh kita takkan bisa berontak sedikitpun pada
mereka. Merekalah yang akan menentukan ke mana kita akan pergi. Mereka
tuan-tuan kita.”
“Tapi kita masih
punya hak untuk mengatur alur hidup kita.”
“Ya, kita memang
punya hak, tapi kita tak punya modal untuk itu!”
“Kita punya
harga diri.”
“Harga diri
katamu? Hemh….! Jangan sok tahu tentang harga diri!” sepertinya si biru mulai
malas diajak bicara.
“Kenapa?”
Suaraku mulai sedikit mengeras.
“Hei, Merah!
Memang, predikat angka nol yang tertawa di tubuhmu lebih banyak dari pada angka
nol yang tentara di tubuhku. Tapi, perlu kau ketahui, aku lebih berpengalaman
dalam melakukan perjalanan abstrak ini.”
“Apa maksudmu?”
“Kau masih muda.
Kau belum tahu banyak tentang harga diri kita.” Ia diam sejenak. Menarik nafas
kemudian menatapku tajam.
Bersamaan dengan tatapan itu, kami semua dipaksa masuk ke dalam
sebuah koper. Tubuhku dan si biru terjepit. Kami bisa leluasa melihat ke luar.
Ternya sedang ada kejadian aneh. Dari sini aku bisa melihat orang bertopeng hitam,
ia menyodorkan pistol ke arah orang yang memasukkanku ke dalam koper ini.
Sementara di sana
bebera orang tampak ketakutan. Ah, aku tak peduli sedang apa mereka. Lebih baik
kudengarkan lagi penjelasan si biru.
“Maaf, bisa kau
jelaskan kepadaku tentang harga diri kita?” Mataku dan si biru kembali lagi
bertatapan.
“Aku tak bisa
menjelaskan semuanya kepadamu. Karena suatu hari, kau akan tahu sendiri. Tapi,
perlu kau ingat! Harga diri kita dimata manusia hanya sebatas kepuasan dan
kesenangan mereka saja. Tak lebih!”
Aku pun tertunduk tanpa bantah mendengar perkataannya. Kini, aku
merasa seakan menemukan orang tua. Ya, aku merasa si biru adalah orang tuaku
sendiri. Sejauh ini, ia banyak mengajariku tentang pengalaman, kehidupan, juga
tentang lika-liku perjalanan abstrak ini.
“Apa! Polisi!?”
“Tetap di tempat! Jangan
Bergerak!”
“Hei, kau! Cepat serahkan koper
Itu! Cepat!”
Manusia disekitarku semakin ribut dengan urusan mereka. Keributan
itu semakin menjadi-jadi dengan adanya suara sirine dari kejauhan yang kian
mendekat, ditambah suara knalpot motor orang bertopeng ini. Rasanya telingku
pecah.
“Hei, Merah!
Pegangan yang erat!” Teriak si biru
“Kau juga….!”
Entah mau kemana
orang bertopeng itu membawa kita. Sepertinya ia punya maksud tidak baik.
“Hai, Biru….! Ngomong-ngomong
mau dibawa ke mana kita?”
“Entahlah! Aku
juga tidak tahu. Yang jelas, orang yang membawa kita sekarang ini bukan orang
baik-baik. Ia seorang perampok.” Paparnya dengan suara lantang.
Perampok?
Batinku bertanya. Kalau tuan yang membawaku sekarang ini seorang perampok,
berarti ini adalah awal perjalanan burukku. Kalau perjalananku ini buruk,
berarti…………….
“Merah……!
Tolong…….!” Ditengah pikiranku sedang melanglang buana memikirkan perjalanan
abstrak ini, tiba-tiba si biru berteriak minta tolong. Genggamannya ternyata
lepas. Ia terjatuh. Angin membawa tubuhnya yang ringan. Di belakang sana tampak sebuah mobil
polisi. Mungkin sedang mengejar perampok yang mebawaku ini. Ah, tidak! Si biru
tergeletak di tengah jalan. Kalau dia tetap di situ, ia akan tergilas
mobil-mobil yang berseliweran di jalan ini. “Angin….! Bertiuplah lagi! Bawa
temanku ke pinggiran jalan!” teriakku memohon. Nihil. Angin tak bertiup lagi.
Yang bisa kulakukan hanya melihat si biru yang kian jauh kutinggalkan. Si biru
semakin jauh dan ia pun hilang ditelan tikungan yang kulewati.
Perampok ini terus membawaku. Memasuki gang-gang. Melewati jembatan.
Kemudian masuk ke sebuah jalan setapak. Tampak sebuah desa kecil di sana . Ia melepas
topengnya sebelum memasuki kawasan desa itu. Entah apa maksudnya. Aku sudah
geram ke padanya. Seandainya ia tidak merampok toko emas itu, mungkin aku dan
si biru tak akan berpisah seperti sekarang ini. Ingin rasanya mengutuk orang
yang tak bertanggung jawab seperti ini. Seandainya aku bisa menjatuhkan diri sekarang,
aku akan jatuh saja di sini. Agar perjalanan buruk tak sampai terlukis dalam
perjalanan abstrakku. Tapi aku tak bisa. Tubuhku terlalu erat terjepit di
antara tutup koper ini. “Ah, aku ingin mengakhiri perjalanan ini….!!!”
Teriakku.
***
Setelah perampok ini berhasil lolos dari kejaran polisi, ia pun
memasuki sebuah gubuk kecil dengan dinding dari anyaman bambu. Ada
seorang anak kecil yang berbaring di sana .
Entah, siapa dia. Ternyata perampok ini orang miskin. Tapi kenapa ia harus
merampok. Bukankah ia masih kuat untuk bekerja. Ah…., jadi ingat nasehat si
biru tentang harga diri.
“Nak…! Bapak datang membawa
uang banyak,
nak! Bapak akan membawamu
ke rumah
sakit sekarang juga. Kamu akan sembuh,
kamu akan
bermain lagi bersama teman-temanmu
di halaman sana . Kamu…”
Nak…… kenapa kamu diam!?
Nak……! Bangunlah, bapak sudah
Datang, nak!
Nak, Nak,
bangun, Nak! jNFn ringgalkan bapak sendirian! Jangan
Pergi, nak!
Jangan pergi, Nak!
Naaaaaaak…………………!!!”
Ternyata,
orang ini merampok bukan untuk kepuasan dan kesenangan seperti apa yang
dikatakan si biru. Tapi ia melakukan ini semua hanya untuk menolong anaknya
yang sakit. Tapi sayang, sepetinya ia terlambat. Anak itu tak bergerak
sedikitpun. Agaknya, ia telah menghembuskan nafas terakhirnya. Kalau tahu akan
seperti ini, aku akan………Ah…, maafkan aku, perampok! Aku benar-benar tidak tahu
tentang niatmu. Dan aku, belum pernah mengenal perjalanan abstrak yang membawku
ini. Apakah aku akan berakhir dengan baik, ataukah sebaliknya. Sekali lagi,
maafkan aku perampok.
ConversionConversion EmoticonEmoticon