Sistem moneter dunia saat ini
dikuasai fiat money ( uang kertas yang tidak dijamin dengan emas atau
perak ) yang sangat rentan dengan fluktuasi (Volatile). Implikasi dari
dominannya penggunaan fiat money, nilai uang kertas selalu mengalami perubahan. Akhirnya,
orang yang mempunyai tanggungan hutang baik
dari qard, tsaman muajjal dan lainnya sering dibingungkan dengan cara
pembayaran hutang ketika nilai uang kertas sudah mengalami perubahan dari nilai
saat menerima hutangan. Apakah pembayaran hutang tersebut tetap menggunakan
jumlah nominal yang sama (mitsli
) sedangkan nilai uang kertas tersebut sudah mengalami perubahan. Atau dikrus
dengan harga suatu benda (qimah ) saat dilangsungkannya ‘aqad untuk menyesuaikan dengan peruabahan nilai.
Untuk hal itu, banyak para ulama'
kontemporer atau oraganisasi Islam memberikan jawaban atas permasalahan perubahan
nilai uang kertas dengan cara menyamakan uang kertas dengan fulus dalam
masalah perubahan nilai dan kemudian
mengambil pendapat mayoritas fuqaha mengenai perubahan nilai fulus tanpa
memperdulikan dampak yang akan di timbulkan . Sebagian yang lain menyamakan uang kertas dengan fulus
dalam permasalahan ini dan kemudian mengambil pendapat minoritas fuqaha
mengenai perubahan nilai fulus dengan alasan lebih mencerminkan keadilan di
tengah masyarakat . hal demikian terjadi di karenakan tidak adanya keterangan yang
jelas mengenai pembahasan perubahan nilai uang kertas pada kitab-kitab fiqh
klasik. Sehingga para ulama' kontemporer saat
menjawab dampak perubahan nilai uang
kertas pada pembayaran taanggungan hutang menyamakannya dengan perubahan
nilai fulus yang mempunyai keterangan
yang jelas dalam kitab fiqh klasik. Oleh
karenanya, di bawah ini kami tampilkan berbagai pendapat ulama' kontemporer mengenai perubahan nilai uang kertas.
Secara garis besar, ada tiga
pendapat para ulama' mengenai perubahan
nilai uang kertas: [1]
- Para Ulama’ yang berpendapat ‘ Mitsli ‘
Dalam permasalahan perubahan nilai
uang kertas, kelompok ini lebih memilih untuk membayar barang mitsli
(jumlah nominal uang yang sama ) tanpa tambahan saat naik dan pengurangan saat
nilai uang kertas menurun bagi orang
yang mempunyai tangunggan hutang. Karena
menurutnya, pembayaran hutang dengan qimah tergolong praktek riba. Diantara
ulama’ yang berpendapat seperti di atas adalah
- Syekh Jad al Haq, Mufti kota Mesir dalam fatwanya pada tahun 1981 M.
- Dr. Muhammad Taqy al Utsmani. Beliau menggolongkan uang kertas sebagai benda mitsli dan setiap barang mitsli dikembalikan dengan mitsli pula agar terhindar dari praktek riba
- Dr. ‘Ali as Salusi. Beliau berpendapat wajib mengembalikan mitsli baik dalam waktu naik atau turunya nilai uang kertas dan tidak boleh di krus dengan qimah kecuali saat uang kertas tersebut sudah tidak di berlakukan oleh Negara (kasad )atau tidak laku di tengah masyarakat (inqhitha’ ).
- Keputusan Muktamar Bank al Islami bersama Ma’had ‘Ali untuk jurusan ekonomi Islam di Jeddah pada tahun 1987 M
- Keputusan Majma’ al Fiqh al Islami dalam pertemuannya yang ke 5 menyebutkan, bahwa pembayaran hutang dari uang kertas menggunakan mitsil tanpa memperdulikan fluktuasi nilai uang kertas. Dan bukan dengan qimah karena hutang ( tanggungan ) dari benda mitsil harus dibayar dengan benda mitsil.[2] Pendapat para ulama’ dan keputusan organisasi Islam di atas sama dengan pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dalam pendapatnya yang pertama [3], kalangan Malikiyah dari pendapat yang masyhur,[4] kalangan syafi’iyah[i] [5] dan Hanabilah dari salah satu dari kedua pendapatnya[6], dalam menyikapi perubahan nilai mata uang Ma’daniyah al Ishtilahiyah (fulus atau nuqud al maghsusah).
- Para Ulama’ yang berpendapat ‘Qimah ‘.
- Dr. Muhammad al Asyqar
- Dr. ‘Ajil an Nasymi . ‘Ajil an Nasymi lebih memilih dan mentarjih pendapat Abu Yusuf yang kedua yang berupa kewajiban membayar qimah bila terjadi fluktuasi nilai fulus. Kemudian lebih lanjut beliau menyamakan uang kertas dengan fulus dalam permasalahan fluktuasi.
- Dr. Qurrah Daghi. Kewajiban membayar qimah dalam masalah fluktuasi nilai uang kertas,menurut beliau, lebih adil dan tidak ada yang dirugikan.
- Syekh Ahmad az Zarqa. Beliau lebih memilih menyamakan uang kertas dengan fulus dalam masalah perubahan nilai dan kemudian memilih pendapat kedua Abu Yusuf ( dari kalangan hanafiyah ) mengenai perubahan nilai fulus. Sehingga bagi orang yang mempunyai tanggungan hutang wajib membayar qimah pada saat terjadi ‘aqad. Tapi hal itu khusus tanggungan yang timbul dari qard dan ba’i. sedangkan untuk tanggungan yang bersifat amanah pada penerima seperti mudharabah maka pengelola hanya berkewajiban mengembalikan mitsli ( jumlah nominal uang yang sama ) sekalipun terjadi nail atau turunya nilai uang kertas.
- Dr. Nazih Hammad.[7]
Mereka semua sependapat untuk
menyamakan permasalahan perubahan nilai uang kertas dengan perubahan nilai
fulus dan kemudian memilih pendapat Abu Yusuf yang kedua dan salah satu
pendapatnya kalangan Hanabilah (ibnu Qayyim al jauzi ) dalam menyikapi masalah perubahan
nilai fulus[8] .
Para ulama’ yang berpendapat Qimah bila perubahan sampai melewati
batas (fahisy)
Pada dasarnya pendapat ini senada
dengan pendapat golongan pertama yakni wajib membayar mitsil, hanya saja bila
perubahan tersebut sampai melewati batas (fahisy)[9] maka
pembayaran harus menggunakan Qimah.
Pendapat demikian dikemukakan
oleh kalangan malikiyah dalam pendapat yang muqabil masyhur dalam menyikapi naik
atau turunya nilai fulus. [10]
Selain ketiga pendapat tersebut ada
pula pendapat yang mengatakan bahwa bila
terjadi perubahan nilai uang kertas maka wajib mengadakan perdamaian (shulh )
diantara kedua orang yang bersangkutan untuk mencari solusi agar tidak ada yang
dirugikan antara keduanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam Raddul Mukhtar juz 4 hlm 573 dan Syekh
Abdullah ibnu Abd Rahman Aba Bathin, yang dikemukakan setelah mendengar fatwa
ibnu Taimiyah bahwa yang harus dibayarkan adalah Qimah.[11]
TARJIH
Menyikapi perbedaan pendapat para ulama’ di atas, para peneliti berupaya untuk mentarjih salah satu pendapat para ulama di atas dengan berbagai
pertimbangan. Hal itu dilakukan demi
tercipta keadilan di tengah kehidupan masyarakat dan tidak ada yang merasa
dirugikan. Diantara tokoh yang melakukan tarjih adalah Hayil Abd Hafidz Yusuf
Daud dalam penelitiannya untuk memperoleh gelar doctor ekonomi Islam. Beliau menyebutkan bahwa bila terjadi
perubahan nilai uang kertas maka bagi orang yang mempunyai tanggungan harus
membayar dengan Qimah. Dan pendapat itulah, menerut beliau, yang lebih
cocok dengan system keadilan Islam dan sekaligus mengantisipasi
bahaya (dharar ) pada kehidupan masyarakat.
Sekalipun demikian, Hayil masih
memberikan beberapa persyaratan untuk hal di atas agar tidak terjerumus pada
praktek riba. Di bawah ini syarat-syarat yang dikemukakan Hayil :
- Terjadi perubahan besar pada nilai uang kertas, bukan perubahan yang sedikit. Sebab perubahan yang sedikit merupakan hal yang wajar dan sulit dihindari dalam tatanan ekonomi saat ini.
- Tidak ada kesepakatan sebelumnya untuk menentukan prosentase tertentu sebagai kelebihannya sehingga hal ini tidak menimbulkan praktek riba.
- Perkiraan terjadinya perubahan nilai uang kertas harus bergantung pada para ahli bukan ijtihad muta’aqid.
- Diharuskan menentukan nilai uang kertas sewaktu 'aqad dengan cara yang dibenarkan oleh syara’. Dan hal ini disebut dengan “ penentuan nilai tanggungan hutang “ oleh sebagian ulama’.[12]
Penentuan nilai tanggungan
hutang (dain ) adalah mentaksir nilai tanggungan hutang (dain ) disaat
dilangsungkannya 'aqad dengan benda yang mempunyai nilai stabil seperti
emas dan perak untuk kemudian
mengembalikan qimah tersebut bila
tiba waktu pembayaran. Contohnya, ketika seseorang berhutang uang satu juta
rupiah maka ditentukan bahwa nilai uang satu juta sewaktu menerima qard tersebut
setara dengan emas 5 gram. Oleh karenanya, ketika terjadi perubahan nilai uang
kertas yang harus dibayarkan adalah 5 gram emas atau jumlah nominal uang yang
senilai dengan 5 gram emas.
Ditulis oleh Abd Rohim di majalah Istinbath
[1] Mudhar Nizar al 'Ani, Ahkam taghayyur Qimatil 'Umlah an Naqdiyah
wa Atsaruha fi Tasdidil Qardi, hlm 125. Dar an Nafais, cet 1 thn 2000
M/1421 H.
[2] Hayil Abd Hafidz Yusuf
Daud, taghayyur al Qimah as Syira’iyah lin Nuqud al Waraqiyah, hlm
281-282,Kairo, al Ma’had ‘Alami lil fikr
al Islami , tnp cet,tahun 1999 M/1418 H.
[3] Lihat Ibnu 'Abidin, Hasyiah Raddul mukhtar. hlm 269 vol
5.Bairut Dar Fikr. Tnp cet thn 1992 M/1412 H. dan fatawa al Hindiyah hlm
106 vol 3 Dar fikr cet 2 thn 1991 M.
[4] Imam Malik, al Mudawwanah, vol 4 hlm 153. Maktabah
syamilah. Dan Mawahibul Jalil syarah
Mukhtashar al Khalil, vol 12 hlm 478. Maktabah syamilah.
[5] Ibnu Hajar al Haitami, fatawa al fiqhiyah al Kubra, vol 2
hlm 227. Maktabah syamilah.
[6] Abd Rahman bin Muhammad bin
Qasim al Hambali, Hasyiyah ar Raudhul Marba’ vol 5 42-43. Maktabah
Syamilah.
[7] Hayil Abd Hafidz Yusuf Daud,
taghayyur al Qimah as Syira’iyah lin Nuqud al Waraqiyah, hlm
288-289,Kairo, al Ma’had ‘Alami lil fikr
al Islami , tnp cet,tahun 1999 M/1418 H.
[8] Abd Rahman bin Muhammad bin
Qasim al Hambali, Hasyiyah ar Raudhul Marba’ vol 5 42-43. Maktabah
Syamilah dan fatawa al Hindiyah hlm 106 vol 3.
[9] Contoh fahisy seperti sebuah keadaan dimana pemegang uang seperti
memegang alat tukar yang sudah tidak punya manfaat besar. Demikian penjelasan
ar Rahuni dari kalangan malikiyah.
[10] Al Hattab , mawahib al Jalil ala mukhtashar Khalil vol 5 hlm
284.
[11] Hayil Abd Hafidz Yusuf Daud, taghayyur al Qimah as Syira’iyah
lin Nuqud al Waraqiyah, hlm 307,Kairo, al Ma’had ‘Alami lil fikr al Islami , tnp cet,tahun
1999 M/1418 H.
[12] Ibid 322-323.
ConversionConversion EmoticonEmoticon