Untuk
menjamin terealisasinya fungsi
intermediasi, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) harus bisa memperoleh dana surplus
masyarakat sebanyak-banyaknya dan menyalurkan kembali pada masyarakat yang
membutuhkan. Oleh karenanya, dalam operasional penghimpunan dana, pihak menejemen LKS menawarkan beberapa produk simpanan pada masyarakat yang berupa
tabungan, giro, dan deposito agar masyarakat berlomba-lomba menaruh dananya di LKS.
Akan tetapi, sebagai lembaga yang berasaskan syariah, problem yang
timbul selanjutnya adalah penggunaan akad apakah yang cocok untuk diterapkan
pada produk penghimpunan dana tersebut, khususnya
tabungan yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini?. Hal ini diperlukan agar
LKS menjadi lembaga keuangan yang beroperasi dalam bingkai syariat Islam secara kaffah sesuai
dengan tujuan awal berdirinya.
Terkait
dengan hal di atas, dalam kajian ekonomi
Islam modern terdapat dua akad yang bisa diterapkan untuk produk tabungan
yakni wadî'ah yadudh-dhamânah (Guarantee Depository ) dan mudhârabah.
Hal senada juga dikemukakan Dewan Syariah Nasional (DSN)[1]
dalam fatwa nomor 2 tahun 2000, " Akad untuk tabungan bisa dilakukan
dengan dua akad yakni wadî’ah dan mudhârabah".[2]
Hanya saja untuk produk tabungan umum, mayoritas LKS menggunakan akad wadî'ah
yadudh-dhamânah.
Tabungan dengan Akad Mudhârabah
Tabungan–selain tabungan umum–[3]yang menerapkan akad mudhârabah harus mengikuti
prinsip-prinsip akad mudhârabah di antaranya sebagai berikut:
- Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shâhibul-mâl (pemilik dana) dan pihak bank sebagai mudhârib (pengelola dana).
- Dalam kapasitasnya sebagai pengelola, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudhârabah dengan pihak lain.
- Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai bukan piutang.
- Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan tertuang dalam akad pembukaan rekening.
- Bank sebagai pengelola menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
- Pihak bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan pihak yang bersangkutan. [4]
Sekalipun demikian, produk tabungan yang
menggunakan akad mudhârabah tersebut masih terdapat ketidakcocokan antara
konsep mudhârabah dengan karakteristik tabungan, khususnya yang
berkaitan dengan penggunaan aset tabungan. Sebagai
contohnya, seandainya LKS mengalami kerugian, maka tidak dilakukan posting
akhir bulan agar penabung (nasabah) tidak mengalami kerugian. Padahal dalam mudhârabah,
pihak nasabah menanggung kerugian bila suatu saat terjadi kerugian. Selain itu,
tabungan yang menggunakan akad mudhârabah akan berkonsekuensi mudharib yudhârib (aset mudhârabah di-mudhârabah-kan dengan orang lain). Sebab secara operasional, LKS tidak mengelola sendiri aset tabungan
tersebut, tetapi dengan memberikan pembiayaan pada masyarakat yang membutuhkan.
Memang, dalam lintas
mazab istilah mudhârib yudhârib masih diperselisihkan, tapi bila
mengikuti pendapat yang memperbolehkan, maka harus ada izin yang jelas dari pihak
nasabah.[5]
Aplikasi Wadî'ah Yadudh-dhamânah di LKS
Mengacu pada pengertian wadî'ah yadudh-dhamânah, pihak LKS sebagai
penerima simpanan (tabungan) yang memakai shîghat wadî’ah dapat
menggunakan aset tabungan tersebut–setelah mendapat izin dari nasabah–untuk aktivitas
perekonomian. Namun dengan
catatan LKS menjamin akan mengembalikan aset tabungan
secara utuh (jumlah nominal asalkan bukan uang yang
dititipkan) manakala dibutuhkan oleh nasabah (on
call). Sebagai konsekuensi dari yadudh-dhamânah,
semua keuntungan yang diperoleh dari aset tabungan mejadi milik LKS. Demikian juga
LKS menanggung kemungkinan seluruh kerugian.
Sekalipun demikian, LKS sebagai penerima tabungan dengan akad wadî’ah
sekaligus pihak yang telah menggunakan
aset tabungan, tidak dilarang untuk memberikan insentif/bonus pada nasabah
dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditentukan
dalam bentuk nominal atau persentase, tetapi betul-betul dari kebijakan pihak
menejemen LKS.[6]
Telaah Konsep Wadi'ah Yadudh-dhamânah
Istilah wadi'ah yadudh-dhamânah muncul sebagai respon atas upaya islamisasi
lembaga keuangan, tepatnya saat berbenturan dengan masalah tabungan. Oleh karenanya, istilah wadi'ah yang asalnya merupakan titipan murni yang tidak boleh digunakan
oleh penerima titipan (yadul-amânah). Tapi dalam konteks Lembaga
Keuangan Syariah, asalkan mendapat izin untuk menggunakan aset tabungan, maka status
wadî'ah yadul-amânah berubah menjadi yadudh-dhamânah. Dan istilah
inilah yang digunakan oleh LKS di Indonesia sebagai salah satu produk tabungan.
Mengamati
praktik tabungan dengan sistem akad wadî'ah yadudh-dhamânah ini, Dr.
Wahbah az-Zuhaili menyangkal bahwa tabungan tersebut dikatakan wadî'ah
sebagaimana yang difatwakan oleh sebagian mufti. Sebab, dalam pandangan penulis
buku al-Fiqhul-Islâmi itu–begitu juga para ulama salaf–, aset yang
berstatus sebagai wadî'ah tidak boleh digunakan dalam aktivitas
perekonomian. Sebab kewajiban penerima titipan adalah hanya menjaga aset
tersebut untuk kemudian dikembalikan lagi (yadul-amânah).
Namun fakta di LKS, setelah mendapat izin
dari penitip, pihak LKS–sekalipun izin
tersebut berbentuk izin umum seperti dengan menabung sudah dianggap izin–menggunakan
aset tersebut untuk aktivitas bisnis. Dan tentunya ini bertentangan dengan
konsep wadî'ah yang dikemukakan oleh para ulama. Lebih lanjut az-Zuhaili
menyatakan bahwa tabungan dengan akad wadî’ah dan mendapat izin untuk digunakan, bukan dinamakan wadî'ah
melainkan sebagai utang dari nasabah (al-qardh). Sebab, secara subtansial dalam tabungan tersebut
menggunakan praktik al-qardh yakni aset digunakan dalam aktivitas bisnis
LKS dan bisa ditarik kapan saja (on call).
Peryataan
az-Zuhaili di atas berdasarkan bahwa dalam penentuan status sebuah transaksi dengan
cara melihat substansinya (praktik transaksi) bukan dari sigatnya.[7]
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Mahmud Abd Karim Ahmad Irsyid, fatwa Syariah
Baitut-Tamwîl Kuwait dan fatwa Pengawas Syariah Bank Faisol al-Islami Sudan.[8]
Mengacu
pada penjelasan bahwa status tabungan secara subtansial adalah al-qardh
bukan wadî'ah, maka pihak LKS harus
memenuhi beberapa hal di bawah ini:
- Dengan menggunakan akad al-qardh, pihak LKS berstatus sebagai yadudh-dhamân (penanggung jawab) atas aset tersebut. Sehingga konsekuensinya, LKS harus mengganti aset tersebut bila terjadi kerusakan, baik kerusakan disebabkan kelalaian atau kecerobohan dari LKS ataupun tidak
- Pihak LKS tidak boleh menjanjikan pemberian bonus atau insentif pada para penabung, baik dalam bentuk nominal atau persentase untuk menghindar dari praktik riba al-qardh (kullu qardhin jarra naf'an fawuha ribâ). Melainkan pemberian bonus tersebut murni kebijakan manajemen LKS. Inilah yang disebut dengan al-qardhul-hasan. Dan al-qardhul-hasan inilah yang digunakan oleh LKS di Timur Tengah sebagai produk tabungannya seperti Bank Faisol al-Islâmi Sudan dan Baitut-Tamwil kuwait.
- Karena aset tabungan berstatus al-qardh, maka aset tersebut sudah menjadi milik LKS. Oleh karenanya, pihak LKS harus menzakati aset tabungan tersebut, sebab aset itu sudah menjadi milik LKS secara sempurna. Dan, inilah tampaknya yang masih belum bisa dilakukan oleh LKS. Karena dalam penghitungan zakat, pihak LKS rupanya tidak memasukan aset tabungan tersebut sebagai milik LKS bahkan menggangap sebagai milik penabung, sehingga aset tersebut tidak terkena kewajiban zakat.[]
Abd.
Rohim FA
[1] DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh MUI
untuk menfatwakan transaksi-transaksi yang sesuai syariat sebagai standar operasional
transaksi di LKS.
[2] Fatwa DSN nomor 2 tahun 2000.
[3] Tabungan umum tidak bisa menggunakan mudhârabah
karena tidak sesuai dengan prinsip mudhârabah.
[4] Fatwa DSN nomor 2 thn 2000.
[5] Lebih jelasnya dilihat dalam al-Fiqhul-Islami
wa Adillâtuh tentang mudhârib yudhârib juz: 5, hlm: 592.
[6] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah,
Suatu Pengenalan Umum. Hlm: 123-124. Tazkia Institute.
[7] Az-Zuhaili, Dr.Wahbah. al-Fiqhul-Islâmi
wa Adillâtuh. Vol: 5 hlm: 449. Damaskus Darul-Fikr. cet: 4.
[8] As-Syâmil fi Mu’amalat wa ‘Amaliyatil-Masharif
al-Islamiyah. hlm: 159-160. Urdun, Darun-Nafais. Fatwa Syari’ah Baitut-Tamwil
Kuwait nomor: 168 dan fatwa Pengawas Syari’ah Bank Faishol al-Islami Sudan nomor:
18.
ConversionConversion EmoticonEmoticon