Apakah kita bahagia? Pasti
jawabannya akan berbeda-beda sesuai dengan apa yang dirasakan oleh masing
masing individu. Tolak ukur bahagiapun pasti berbeda beda pada masing masing
individu. Ada yang merasa bahagia karena semua urusan duniawi (harta) sangat
melimpah, adapula yang merasa bahagia karena memiliki keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rohmah walau dalam
urusan duniawinya bisa dikatakan kekurangaan. Intinya urusan rasa bahagia dalam
diri seseorang memang kembali pada setiap individu dan tentunya dengan tolak
ukur yang berbeda beda
Mengenai rasa kebahagiaan ini,
ada sebuah berita menarik dari kumparan.com mengenai fenomena mahasiswa/i Universitas
Yale, Amerika Serikat. Di kampus
tersebut, disebutkan telah membuka sebuah mata kuliah baru tentang kebahagiaan
pada tahun ini. Mata kuliah tersebut diberi nama Psychology and The Good
Life. Dan responnya sungguh sangat luar biasa. Sejak satu minggu dibuka
pada 12 Januari lalu, kelas kebahagiaan di Universitas Yale ini mampu menarik
sebanyak 1.200 pendaftar. Hampir ¼ mahasiswa Univesitas Yale mengambil mata
kuliah ini. Tampaknya, kebahagiaan merupakan hal yang langka di kalangan mahasiswa-mahasiswi
Universitas Yale saat ini. Buktinya, mata kuliah tentang kebahagiaan justru
menjadi mata kuliah paling populer di Universitas Yale, Amerika Serikat. Kelas
ini diajar oleh Laurie Santos, seorang profesor psikologi dan kepala asrama di
Universitas Yale. Dia mengajar tentang bagaimana menjalani kehidupan yang lebih
bahagia dan mencapai hasil yang maksimal.
Sehubungan dengan itu, Pembahasan
mengenai “rasa bahagia” dalam ranah penelitian ilmiah juga menjadi objek kajian
yang terus diteliti oleh para peneliti. Ada banyak lembaga yang melakukan
penelitian terkait rasa bahagia dalam diri seseorang dengan berbagai sudut
pandang dan indikator. Adapun hasil penelitian mengenai “rasa bahagia” penduduk
sebuah negara telah dirilis dalam World Happiness Report yang
dikeluarkan oleh Sustainable Development Solutions Network (SDSN)
pada Maret 2017. Hasil penelitian ini berasal dari data yang dikumpulkan sejak tahun
2014 hingga 2016. Hal-hal yang diukur dalam menentukan kebahagaiaan antara lain
PDB per kapita, harapan hidup sehat, dukungan sosial, kebebasan menentukan
pilhan, kemurahan hati, persepsi korupsi, positive affect, dan negative
affect
Indonesia urutan berapa? Dalam World
Happiness Report, Indonesia berada di urutan ke 81 dari 155 negara yang menjadi
objek penelitian tentang happiness. Kalau dicermati secara seksama, peringkat
happiness Indonesia termasuk dalam kategori yang rendah jika
dibandingkan dengan negara tentangga Indonesia seperti Singapura yang berada di
peringkat 26 dan Thailand di peringkat 32.
Lantas negara apa yang memiliki
tingkat happines tertinggi dalam laporan penelitian tersebut? Jawabannya
adalah Norwegia, Denmark, Islandia, Swiss, dan Finlandia. Wow, luar biasa 5
negara tersebut. Kita (Indonesia) sepatutnya perlu belajar dan melihat
bagaimana Norwegia, Denmark, Islandia, Swiss, dan Finlandia menempati urutan
teratas negara-negara yang bahagia. Pada penelitian sebelumnya, Norwegia berada
pada peringkat ke 4 dan kini Norwegia melompat dari urutan 4 ke urutan pertama
setelah menggeser Denmark yang tahun sebelumnya berada di puncak. Sebaliknya, peringkat
paling rendah dari 155 negara dihuni oleh Suriah di peringkat 152 dengan
berbagai problematika negara yang melanda. lalu diikuti negara Tanzania,
Burundi, dan Republik Afrika Tengah. 4 negara tersebut tergolong negara dengan
tingkat happiness paling rendah disebabkan oleh berbagai faktor permasalahan
bangsa yang melanda.
Sehubungan dengan laporan
penelitian ini, seorang ekonom yang ikut menulis laporan ini, John Helliwell,
menyatakan bahwa pada dasarnya bahagia tidak dapat disamakan dengan kakayaan sehingga
kekayaan yang dimiliki oleh sebuah negara belum tentu menjamin tingkat happiness
masyarakat negara tersebut. Lantas apa yang bisa menciptakan happiness
tersebut? Ternyata unsur-unsur kemanusiaanlah yang menentukan. Jika kekayaan
mempersulit hubungan karena rendahnya rasa percaya antar manusia, apa masih ada
artinya? Materi justru dapat menghalangi kemanusiaan.
Lalu apa yang bisa kita
pelajari dari Norwegia? Disana semua orang dapat uang pensiun di usia 67 tahun,
termasuk perempuan yang tidak bekerja. Warga Norwegia juga membayar iuran
maksimal sebesar US $300 per tahun untuk biaya kesehatan untuk kemudian dapat
kartu bebas dan tidak membayar lagi sepanjang tahun. Bahkan temuan yang cukup
menarik, iklim yang buruk disana itu membangun kebersamaan yang kuat antar
warga disana. Menurut Jeffrey Sachs, Direktur SDSN yang
mempublikasikan daftar negara-negara paling bahagia tersebut negara bahagia
adalah yang memiliki keseimbangan kemakmuran, kebiasaan yang terukur, modal
sosial, tinggak kepercayaan yang tinggi di masyarakat, ketimpangan yang rendah,
dan kepercayaan kepada pemerintah. Seberapa bahagiakan kita?
2 komentar
Click here for komentar🌟🌟🌟🌟
ReplyBagus sebenarnya, tapi Nggak Ada jarak jadi pusing bacanya.
Jadi Inget buku Bliss tulisan koresponden Eric Weiner tentang mencari kebahagian Di seluruh dunia. Namun, dia menemukan kebahagiaan nya itu. Namun cuma sesaat dan makin lama terasa membosankan. Tanpa dia sadari teenyata, negara yg paling membahagiakan adalah tempat dimana dia lahir, dimana dia dibesarkan dan dimana dia Di akui seorang warga negara. Dan akupun sependapat dengan Cara berfikir Eric Weiner....
Isi kontennya menarik disajikan dengan fakta, tapi kekurangannya penulisan agak rapat tak berjarak.
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon