WACANA PAJAK SEPEDA; ANTARA SEJARAH DAN STABILITAS EKONOMI DAMPAK COVID-19

Beberapa hari ini, banyak masuk pertanyaan via WA ke saya tentang wacana Kemenhub berupa "Pajak Sepeda" dari teman sejawat dan beberapa relasi. Wajar, memang sejak 26 Juni lalu wacana itu terlontar dalam diskusi daring yang disampaikan oleh Dirjen Perhubungan Darat kementrian Perhubungan, Budi Setiyadi. Petikan kalimatnya “ kalau waktu saya kecil, saya mengalami sepeda disuruh bayar pajak dan sebagainya. Mungkin bisa ke sana. Tapi ini sejalan dengan revisi UU 22/2009. Sudah diskusi dengan korlantas Polri” (Antara News). Demikian petikan kalimat Budi Setiyadi yang menyebabkan “pajak sepeda” menjadi bahan pembicaraan hangat masyarakat di berbagai media.

Tapi wacana itu kemudian dibantah oleh Juru bicara Kementerian Perhubungan RI, Adita Irawati. Ia menjelaskan bahwa Kementerian Perhubungan tidak sedang merancang aturan penerapan pajak bagi pesepeda. Melainkan tengah merancang peraturan menteri soal keselamatan pesepeda. Yang mana dalam aturan itu nantinya akan mencakup soal perlindungan bagi para pesepeda, baik saat malam ataupun siang. Misalnya, soal jalur mana saja yang boleh dilalui pesepeda, larangan bersepeda bergerombol dan lainnya. Adita juga menyampaikan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sepeda dikategorikan sebagai kendaraan tidak bermotor sehingga pengaturannya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

PAJAK SEPEDA DALAM SEJARAH INDONESIA

Saya menulis sejarah “pajak sepeda” ini, bukan berarti saya setuju tentang wacana “pajak sepeda”. Tapi bermaksud agar kita mengetahui terlebih dahulu sejarah “pajak sepeda” di Indonesia. Dulu pada masa Kolonial kemudian dilanjutkan pada penjajahan Jepang bahkan hingga awal kemerdekaan RI pernah menerapkan “pajak sepeda”. Bahkan pada masa penjajahan Jepang, pajak sepeda menjadi sangat ketat. Pemerintah Jepang sering mengingatkan masyarakat via koran agar para pemilik sepeda segera membayar pajak. Lebih kejamnya lagi, pembayaran pajak sepeda yang melebihi batas waktu yang ditentukan dikenai denda beruba tambahan 20% dari pokok pajak sepeda.


Adapun untuk tarifnya, ada beberapa tarif yang berbeda beda untuk “pajak sepeda” tergantung domisili pesepeda, segi kepemilikan, antara anak-anak sekolah atau para pekerja. Setelah itu, sepeda yang telah dibayar pajaknya, akan diberi "peneng". Sebagaimana yang dilansir Kompas.com, 22 Juni 2020, peneng berwujud lempengan besi/emblem yang dipasang di sepeda, sebagai penanda bahwa sepeda tersebut telah tedaftar sebagai objek pajak. Tanpa peneng, pesepeda akan dikenakan denda jika terjaring razia.

Setelah Indonesia merdeka, kebijakan pajak sepeda ternyata tidak langsung dicabut. Di beberapa daerah Indonesia masih memberlakukan kebijakan pajak sepeda ini sampai tahun 1980-1990-an. Pajak sepeda ini ternyata juga dikenal dengan istilah "plombir". Diantara daerah yang masih menerapkan pajak sepeda setelah kemerdekaan adalah Yogyakarta, Kudus, Kediri, Banyuwangi, dan Bandung. Contohnya di Yogyakarta, Harian Kompas, 12 Februari 1970 memberitakan bahwa Pemerintah Daerah Yogyakarta mengeluarkan kartu khusus kendaraan tidak bermotor. kendati kartu khusus tersebut tercetak tahun 1964, tetapi digunakan sebagai pajak sepeda tahun 1969. Kemudian, pemungutan pajaknya dilakukan pada awal Februari 1970. Para RT dan RK dalam wilayah pun melakukan penagihan pajak sepeda dengan mendatangi rumah-rumah penduduk. Jumlah sepeda di tiap rumah dikontrol dan dikenakan biaya sebesar Rp 50,- untuk masing-masing sepeda.

PAJAK SEPEDA PERLUKAH?

Wacana pajak sepeda memang sudah diklarifikasi oleh Juru bicara Kementerian Perhubungan RI, Adita Irawati. Bahkan Kemenhub juga merilis keterangan tertulis dengan nomor 75/SP/VI/HMS/2020 untuk menjelaskan bahwa tidak benar kemenhub sedang menyiapkan regulasi terkait pajak sepeda. Tentu wacana tersebut sempat meresahkan masyarakat Indonesia yang sedang memiliki animo sangat tinggi untuk bersepeda. apalagi ditengah pandemic covid-19 ini, dimana masyarakat lebih suka bersepeda untuk membatasi interaksi dengan orang lain. Sehingga tidak heran ketika wacana tersebut sempat menyeruak ke media, banyak masyarakat dan asosiasi seperti Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo) meresahkannya. Padahal saat wabah corona melanda Indonesia saat ini, berbagai objek pajak yang sudah ada justru sedang gencar diberikan berbagai insentif pajak oleh pemerintah seperti pajak penghasilan (PPh) pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), Pembebasan PPh 22 Impor, Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 dan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat sebagaimana yang tertuang lengkap dalam PMK No 44 tahun 2020 tentang Insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagai ganti atas PMK no 23/PMK.03/2020 tentang insentif pajak untuk wajib pajak terdampak wabah virus corona.


Tidak hanya sampai disitu, penurunan tariff pajak juga dilakukan sebagai antisipasi dampak virus Corona terhadap perekonomian nasional telah dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perpu) No 1 tahun 2020 yang berisi penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22%. Tarif ini berlaku mulai tahun ini 2020 dan 2021, lebih cepat dari usulan awal yang dimasukkan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Kemudian tariff ini kembali turun menjadi 20% yang berlaku pada tahun 2022.

Walhasil, Andaikan wacana tersebut memang sedang digodok dan dikaji oleh pemerintah melalui Kemenhub atau lembaga lainnya, tentu ini sangat disesalkan oleh banyak masyarakat. Sebab berbagai pajak yang ada justru sedang diguyur dengan berbagai insentif pajak untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Disamping itu, kegiatan bersepeda sudah menjadi lifestyle tersendiri di tengah masyarakat baik perkotaan maupun pedesaan, baik bertujuan olahraga atau bertujuan menjadikannya alat transportasi. Karena animo bersepeda tentu sangat positif dan bermanfaat seperti dapat mengurangi pemakaian kendaraan berbahan bakar fosil (minyak bumi, batu bara, gas alam) yang dikeluarkan oleh kendaraan roda empat dan sepeda motor. Selain itu, bahan bakar fosil ada yang masih subsidi dan impor, sehingga membebani APBN. Penggunaan sepeda dapat memberikan efisiensi terhadap hal tersebut. selanjutnya, bersepada merupakan bagian meningkatkan kesehatan masyarakat, dengan berolahraga bersepeda, jelas bisa meningkatkan produktivitas Indonesia. Yang terakhir, menyangkut energi hijau, lingkungan hijau, jelas harus didukung sarana transportasi, dengan mengurangi emisi. Ini sangat penting, bagaimana persepedaan juga harus didukung regulasi yang jelas untuk pemakaian, untuk menjadikan sepeda sebagai sarana transportasi.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment