MENEROPONG INDUSTRI ROKOK DI TENGAH HIMPITAN REGULASI DAN KENAIKAN CUKAI





 
Kendati regulasi tentang rokok makin ketat, uniknya, jumlah perokok di Indonesia justru meningkat. "Ada peningkatan jumlah perokok muda atau perokok pemula," kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Mohamad Subuh.  Data Kemenkes pada 2014 menunjukkan, sekitar 20,5 persen remaja berusia 16 hingga 19 tahun menjadi perokok. Angka ini meningkat dibanding pada 1995, yakni sekitar 7,1 persen remaja usia 16 - 19 tahun menjadi perokok aktif.

Data itu seiring dengan peningkatan  jumlah populasi perokok dengan usia 15 tahun ke atas di Indonesia. Angkanya menunjukkan tren peningkatan dari 1995 hingga 2013.  Pada 1995, jumlah perokok baru mencapai 27 persen, tetapi pada 2013 melonjak hingga 36,3 persen. Dari angka itu, perokok berjenis kelamin laki-laki mendominasi dengan perkiraan mencapai 66 persen.

Sebagaimana diketahui untuk menekan jumlah perokok itu, pemerintah memberikan keleluasaan bagi kementerian kesehatan untuk melakukan kampanye antirokok. Sebaliknya, kementerian perdagangan memberikan lampu hijau bagi industri rokok melalui Perpres No 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Dalam kategori industri tembakau, Perpres yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu memuat beberapa poin penting yakni, “memberlakukan kebijakan cukai yang terencana, kondusif dan moderat; menjamin keseimbangan pasokan dan kebutuhan bahan baku serta peningkatan produktivitas tembakau dan cengkeh; dan meningkatkan ekspor produk tembakau dan rokok.”

Penerimaan negara dari cukai rokok terbukti meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2012 negara mendapat Rp87 triliun dari cukai rokok. Di tahun berikutnya bertambah menjadi Rp100,7 triliun. Pendapatan meningkat lagi sampai Rp111,4 triliun di tahun 2014. Pada 2015 menembus Rp 139,5 triliun melebihi target yang ditetapkan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015, yakni 136,12 triliun.

Tidak hanya sampai di situ, pemerintah kembali menggulirkan wacana baru terkait rokok tersebut. Kini pemerintah berencana ingin menaikkan kembali cukai rokok menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Kalau wacana itu benar – benar diterapkan, harga rokong kemungkinan berada dikisaran 50.000/ bungkus. So, tentu kalangan industry rokok sangat hawatir dengan wacana tersebut. Bagaimana tidak?? Wacana tersebut kalau diterapkan pasti akan memberikan efek negative pada industry rokok. Paling buruk, industry rokok bisa gulung tikar.  

Rokok di Antara Himpitan Regulasi dan Cukai

Kendati dijepit dengan berbagai regulasi dan dibebani cukai, pendapatan industri rokok ternyata masih gemerlap. Hal ini nampak dari kinerja tiga pemain besar industri rokok, Sampoerna Tbk PT Gudang Garam Tbk, dan PT Djarum.

PT Sampoerna Tbk, misalnya, dalam laporan keuangan mereka pada 2015 menorehkan laba jumbo bersih sebesar Rp10,355 triliun atau meningkat dari tahun sebelumnya yakni Rp10,015. Sejak dibeli Philip Morris International pada 2005 Sampoerna Tbk menunjukkan rata-rata pertumbuhan laba bersih per tahun hingga 13 persen.

Pada rentang satu dekade itu, Sampoerna pernah meraih pertumbuhan hingga 31 persen pada 2009 lalu. Namun, sejak 2010 pertumbuhan laba bersih Sampoerna menurun, bahkan sampai pada titik terendah pada 2014 lalu yakni minus tujuh persen. Baru pada 2015 lalu Sampoerna merangkak naik sebesar tiga persen.

Perusahaan rokok besar lainnya, PT Gudang Garam Tbk membukukan laba bersih sebesar Rp6,43 triliun pada 2015. Capaian itu naik 19,05 persen dari pendapatan pada 2014 yakni sebesar Rp5,4 triliun. Merunut ke belakang, laba bersih di 2013 mencapai Rp4,3 triliun. Ke belakang lagi, 2012, sebesar Rp4 triliun. Pendek kata selama dekade terakhir rata-rata pertumbuhan laba bersih PT Gudang Garam Tbk per tahun mencapai 26 persen.

Sementara PT Djarum, salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia tidak bisa diketahui berapa pendapatan dan labanya karena bukan perusahaan terbuka yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) . Namun agresivitas PT Djarum, melalui anak-anak perusahaannya menjadi pemain di berbagai sektor bisnis seperti e-commerce, properti, media, dan bahkan hingga pertanian sudah cukup membuktikan seberapa besar keuntungan mereka.

Forbes tahun lalu juga masih menempatkan keluarga Hartono—Robert Budi Hartono dan Michael Hartono—pemilik PT Djarum sebagai orang terkaya di Indonesia. Kekayaannya, menurut Forbes, diperkirakan mencapai 15,4 miliar dolar AS atau setara Rp210,98 triliun atau sekitar seperlima dari total pendapatan negara sebesar Rp1.822 triliun  dalam APBN 2016.

Bila datanya seperti itu, kepada siapa negara akan berpihak?
Previous
Next Post »
Thanks for your comment